Akhirnya sampai juga di Murusobe

Seketika saya rebahkan badan di atas bebatuan besar yang cukup datar yang bergerombol membelah aliran sungai. Burung-burung berkicau sangat ramai, tapi itu bukanlah hal yang mengusik saya, malah kicauan ini membuat saya terbuai dan mulai memejamkan mata, melepas penat akibat jenuh dengan rutinitas sehari-hari di kantor. Udara yang sejuk, wangi dedauanan dan tanah basah, dipadukan dengan gemercik air sungai, sungguh sangat menenangkan jiwa. Ahh, rasanya, saraf-saraf otak saya yang tadinya kusut kini menjadi renggang dan lurus kembali. Ingin saya berlama-lama menikmati keindahan alam Murusobe ini.
Air Terjun Kembar Murusobe

Akhirnya penasaran saya hampir selama 5 tahun ini terobati karena telah sampai di air terjun Murusobe. Apa yang membuat saya penasaran? Karena setiap harinya di Maumere saya hanya disuguhi pemandangan laut yang identik dengan udara panas, lembab, dan berdebu, sehingga saya hampir tak menyangka kalau ada sumber air melimpah seperti air terjun Murusobe ini, walaupun sebenarnya dari kejauhan terlihat beberapa pegunungan yang menghijau, akan tetapi belum ada keberanian dan kesempatan untuk menjelajah sampai kesana.

Murusobe adalah air terjun yang terletak di dusun Datunaka, desa Poma, kecamatan Tanawawo, Kabupaten Sikka. Air terjun setinggi hampir 100 meter ini memiliki 2 buah curug sehingga dikenal sebagai air terjun kembar. Sebenarnya terdapat 2 jalur yang bisa ditempuh untuk mencapai air terjun Murusobe, yaitu dari desa Wolofeo ataupun dari desa Feondari tetapi kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya melalui desa Wolofeo. Check Point pertama kita adalah jembatan Kaliwajo. Dari Maumere saya berkendara kurang lebih selama 1 jam menuju jalur selatan jalan trans Flores. Jalur ini cukup ramai di pagi hari karena selain sebagai jalur utama yang menghubungkan kabupaten Sikka dengan Ende, di jalur ini juga merupakan jalan menuju beberapa tempat wisata seperti Pantai Paga, Pantai Koka, hingga danau Kelimutu yang terletak di kabupaten Ende. Setelah berbelok ke kanan, ikuti terus jalan utama menuju desa Wolofeo, sebelum pasar Wolofeo, terdapat belokan menanjak ke arah kanan menuju ke desa Loke, ambil jalan tersebut tapi tetap berhati-hati, jalanan kali ini tidak semulus jalanan sebelumnya.

Infrastruktur jalan yang masih berupa semen kasar yang berbatu seakan menjadi ciri khas desa-desa di Flores. Saat musim hujan, jalanan ini akan makin sulit untuk dilalui karena bebatuan yang licin dan tanah menjadi lebih liat. Untuk amannya, apabila anda berkendara dengan mobil, sebaiknya titipkan kendaraan anda di salah satu rumah di desa Loke. Jangan lupa mengunci dan minta ijin kepada pemilik lahan, agar kendaraan anda aman. Perjalanan akan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju desa Poma. Kurang lebih membutuhkan waktu 1-2 jam berjalan kaki untuk menuju desa yang lokasinya paling dekat dengan air terjun Murusobe ini.
Perjalanan menuju desa Poma
Saat sampai disebuah puncak bukit setelah desa Loke menuju ke desa Poma, anda akan disuguhi hamparan hijau perbukitan flores yang seakan membuat mata anda terasa lebih bersih, ringan dan segar. Sungguh sangat menyejukan, dari kejauhan terdengar ringkikan kuda milik penduduk kampung sekitar yang berpadu dengan suara angin yang menyapu rerumputan dan semak sepanjang jalan yang anda lalui.
Gunung & Lembah diperjalanan menuju desa poma
Beberapa saat kemudian, anda akan melalui sebuah Dusun bernama dusun Detuki. Saat kami melintas, terlihat beberapa warga sedang sibuk mencuci, beberapa anak sedang mandi disebuah talang air yang disediakan olah pemerintah. Anak-anak berhamburan menghampiri kami, wajah mereka menyiratkan keheranan, tak tau apa yang ada dibenak mereka, yang pasti mereka sangat ramah. Salam selamat siang menyapa kami yang sesekali mengambil gambar dusun mereka. Perbukitan hijau, rumah, dan jalanan yang masih tanah membangkitkan ingatan saya ketika sekolah dasar dulu, dimana jika pelajaran menggambar, gambar yang pasti saya buat pasti seperti ini. Gunung, rumah, dan jalanan. Apakah masa kecil anda juga demikian?
Gunung, rumah, dan jalanan yang masih dari tanah
Sesampai di desa Poma, sapalah beberapa penduduk, kemudia tanyakan dimana rumah Bapa Desa. Temui Bapa Desa kemudian terangkan maksud dan tujuan anda datang kesana. Selanjutkan Bapa Desa akan menunjukan arah menuju air terjun, tak lupa kita dikenalkan kepada Tuan Tanah disana. Mintalah ijin beliau dan jangan lupa untuk mengisi buku tamu. Saat itu tuan tanah beserta beberapa pemuda desa dan anak-anak ikut mengantar rombongan kami
Sekolah dusun Datunaka
Setelah melewati sebuah sekolah, kita akan menyusuri jalan setapak menembus hutan dan perkebunan penduduk. Kira-kira 1-2 kilometer dari sekolah, anda akan mulai melewati beberapa sungai. Perhatikan kaki anda, pastikan tidak ada lintah atau pacet yang menempel. Berhati-hatilah ketika melompati bebatuan, karena ada beberapa batu yang licin dan bisa membuat kita tergelincir. Rasakan sensasi meniti jembatan 2 ruas bambu yang mengantarkan anda menuju ke air terjun kembar.
Bebatuan dan jembatan bambu sepanjang perjalanan ke Murusobe
Perlahan udara sekitar mulai terasa lebih dingin, angin mulai berhembus, deru air yang jatuh dari ketinggian mulai terdengar. Tebing curam yang menjulang, dihiasi lumut dan beberapa pohon menghijau, dari sana mengucur deras air dalam debit cukup besar. Keindahan Murusobe, sejenak membuat kita terdiam mengaguminya. Saya mulai mencari tempat yang nyaman untuk melepas lelas dan menikmati keindahan air terjun kembar ini. Beberapa teman saya memilih untuk lebih menikmati kesegaran airnya dengan menceburkan diri ke kolam air terjunnya.
Rumah Bapa Desa Poma
Sekitar tengah hari, saya mulai mengabadikan setiap sudut air terjun. Waktu terbaik untuk mengambil gambar menurut penduduk sekitar adalah tengah hari, ketika sinar matahari mulai masuk di antara tebing-tebing curam Murusobe. Tak lama setelah itu kami mulai berkemas untuk kembali ke rumah Bapa Desa. Ternyata Bapa Desa sudah menyiapkan makan siang untuk kami. Setelah makan siang dan berbincang-bincang sedikit tentang pengembangan pariwisata air terjun Murusobe ini, kami ijin untuk pamit pulang.
Banyak hal yang kami dapat dari perjalanan ke Murusobe ini. Alam yang indah, udara yang segar, penduduk yang ramah kami temui hampir disepanjang perjalanan. Tapi satu hal yang mengganggu saya, apakah jalur transportasi ke tempat seindah ini akan tetap sulit ditempuh seperti ini. Apakah hal ini memang dipertahankan untuk menjadi ciri khas tersendiri, wisata Flores identik dengan jalanan rusak dan kurang fasilitas penunjang? Ahh, terimakasih Flores, Epang Gawang.

Komentar

  1. Ah, di hari yang sama itu saya justru lagi dalam perjalanan ke pantai Pangabatang... padahal air terjun Murusobe menjadi salah satu inceranku kalau kesana

    BalasHapus
  2. hehe, sepadan kok om. ga dapet Murusobe, dapetnya Pangabatang yang indah

    BalasHapus
  3. sempat KKN di pulau pemana 1 bulan bersama teman - teman dari Yogya
    baru sempat menikmati kelimutu
    masih banyak yang harus dituju
    semoga bisa kesana lagi
    :)

    BalasHapus

Posting Komentar