Menyibak Dingin Manggarai Tengah dari Kota Ruteng

Pertama kali saya mendengar Manggarai, pikiran saya langsung tertuju pada banjir Jakarta. Ya, nama Manggarai disebut-sebut dalam siaran berita ketika Jakarta banjir tetapi ketika saya cari lebih spesifik lagi, Manggarai adalah nama sebuah kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Awalnya Manggarai adalah nama satu kabupaten, namun ada kebijakan dari pemerintah akhirnya Manggarai dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Manggarai Barat dengan ibukotanya Labuan Bajo, Manggarai Tengah ibukotanya Ruteng dan Manggarai Timur ibukotanya Borong. Kali ini saya akan menceritakan pengalaman saya di kota Ruteng, ibukota Manggarai Tengah. Saya akui tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang kota ini, dikarenakan waktu saya yang terbatas untuk menjejahi kota ini lebih jauh.


Orang yang telah mengenal kota Ruteng tentu paling ingat bagaimana sensasi mandi di kota ini. Terletak di ketinggian 1.070 meter dari atas permukaan laut, di lereng pegunungan Madosawu, kota Ruteng menjadi kota terdingin di dataran Flores. Jangan bayangkan Puncak di pulau Jawa, karena kota ini lebih dingin lagi. Suhu udara bisa mencapai 8o Celcius dimana suhu tersebut cukup membuat gigi anda bergetar karena menggigil kedinginan. Kota kecil yang mendapat sebutan kota seribu Gereja ini memang subur dan memiliki debit air yang melimpah, tak sulit untuk menemui hamparan sawah yang tersebar disekitar kota.

Hari itu saya bertolak dari Labuan Bajo menuju arah barat Flores. Kota kedua yang saya jumpai setelah Labuan Bajo adalah Ruteng. Mungkin kalau saya hitung, ini adalah perjalanan ke-5 kali saya ke kota ini. Memang kota ini lebih sering saya jadikan kota transit sebelum meneruskan perjalanan ke Labuan Bajo atau ke Maumere. Belum ada setengah perjalanan, perjalanan saya terhenti karena longsor. Kontur tanah yang berbukit menyebabkan daerah antara Labuan Bajo – Ruteng adalah daerah rawan longsor apalagi dimusim hujan seperti ini. Longsor ini menyebabkan saya harus berjalan kaki kurang lebih 3-5 kilometer untuk mencari tumpangan untuk melanjutkan perjalanan ke Ruteng. Tidak selamanya bencana membuat saya cemberut dan kehilangan mood. Justru dengan berjalan kaki, saya lebih menikmati pemandangan disekitar.

Salah satu sudut jalan Labuan Bajo - Ruteng
 Setelah 6 jam perjalanan dari yang seharunya sekitar 4 jam perjalanan, akhirnya saya sampai di kota Ruteng. Tak sulit mencari penginapan di kota ini, akan tetapi saya beruntung karena di kota ini saya sering bermalam di rumah teman saya yang kebetulan bekerja di instansi yang sama. Suatu ketika saya ingin merasakan dinginnya air Ruteng, saya mencoba mandi saat itu pukul 20.00 WITA, dan benar saja setelah itu saya langsung menggigil. Esok paginya, sekedar untuk menghangatkan tubuh, lebih baik lagi kalau bisa berkeringat, saya memilih jogging di sekitar area bandara Frans Lega. Langit cerah, udara bersih dan sejuk, ditemani semburat matahari pagi, menjadikan lari pagi saya lebih bersemangat.

Tower ATC Bandara Frans Lega Ruteng
Sambil terus berlari, akhirnya saya sampai di area parkir bandara. Jangan bandingkan bandara di kota ini dengan di Labuhan Bajo, karena menurut penuturan warga sekitar yang hendak berangkat, hanya ada 2 maskapai yang melayani penerbangan di kota ini. Apalagi saat ini, salah satu maskapai tersebut sudah bangkrut jadi untuk transportasi udara sangat terbatas. Kondisi kota Ruteng yang berada di daerah pegunungan, menyebabkan penerbangan di kota ini sangat tergantung dari faktor cuaca. Jika cuaca berkabut, maka pesawat tidak akan landing alias penerbangan di cancel.

Pemandangan sekitar runway Bandara Frans Lega Ruteng
Selain wisata kota, Ruteng juga menawarkan wisata alam seperti sawah jaring laba-laba di Cancar dan Goa Liang Bua yang terkenal dengan fosil manusia purba Homofloriensisnya. Tak hanya itu, 15 menit dari kota Ruteng, terdapat kampung tradisional Compang lengkap dengan rumah tradisionalnya. Sayangnya dari 3 tempat itu, hanya sawah jaring laba-laba di Cancar yang berhasil saya kunjungi.

Sawah Cancar
Anda mungkin masih ingat bagaimana fenomena cropcircle pernah booming di Indonesia? Di Manggarai, 45 menit dari kota Ruteng, terdapat sebuah desa yang memiliki area sawah laiknya fenomena cropcircle. Sawah ini berbentuk seperti jaring laba-laba, sangat berbeda dengan sawah-sawah yang ada di Tegalalang atau Jatiluwih Bali. Masyarakat Manggarai menyebutnya dengan Lingko. Lingko merupakan tanah adat, jadi tidak dikelola pribadi tapi oleh suku yang ada di wilayah tersebut. Lingko sendiri sudah ada secara turun temurun, tujuannya adalah untuk pembagian lahan sawah dan kebun. Hanya seorang Tuan Teno atau orang yang diberi kekuasaan mengatur sistem besaran Lingko yang boleh membagi Lingko ini.

Pembagian Lingko dilakukan dengan menentukan titik pusat tanah adat atau yang disebut Lodok. Besar kecilnya bagian tergantung dari kedudukannya di dalam masyarakat kampung atau jumlah keluarganya. Semakin tinggi kedudukannya atau semakin banyak keluarga, semakin banyak bagiannya.

Sawah ini mengalami dua kali masa tanam dan panen. Masyarakat Manggarai mengenalnya dengan istilah Woja Kelang dan Woja Cekeng (Woja artinya Padi). Woja Kelang adalah istilah untuk masa tanam dimana pengerjaan dimulai pada saat awal musim hujan dan dipanen pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau. Biasanya antara Januari atau Februari sampai Juni atau Juli. Sumber pengairannya mengandalkan air hujan ketika itu. Sedangkan Woja Cekeng adalah istilah untuk penanaman padi yang dimulai pada musim kemarau dan dipanen pada awal musim hujan yaitu antara Juni atau Juli sampai November atau Desember. Pasokan airnya ketika masa ini adalah dari aliran sungai.

Sawah Cancar
Untuk mencapai Cancar sendiri, anda bisa menempuh perjalanan sekitar 45-60 menit dari kota Ruteng. Bisa menggunakan Ojek atau angkutan umum yang menuju pasar Cancar. Dari pasar Cancar, aka nada sebuah jalan kecil sepanjang kurang lebih 3 kilometer. Lokasinya agak tersembunyi, tanyakan pada masyarakat sekitar, nanti anda akan di ajak naik ke sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi menuju ke rumah tetua adat disana. Isi buku tamu dan sedikit administrasi untuk pengelola, maka ada bisa menikmati indahnya sawah Cancar yang unik ini.

Oleh-oleh dari Manggarai
Memang suatu perjalanan tidak lengkap tanpa adanya souvenir. Di Manggarai ini ada beberapa pilihan souvenir seperti kain khas Manggarai, Peci Manggarai, Kue Kompiang, dan favorit saya adalah Kopi Flores. Walaupan saya bukan pecinta kopi, tapi aroma kopi Flores menurut saya lain dari kopi biasa, lebih kuat. Oleh-oleh ini dapat anda dapatkan disekitar kota Ruteng, khususnya Kopi Flores, di Ruteng terdapat pabriknya langsung.

Berikut Itinerary selama di Manggarai :
- Transport travel dari Labuan Bajo ke Ruteng Rp. 70.000
- Makan selama di Ruteng dan Cancar, lima kali makan Rp. 100.000
- Makanan kecil dan air mineral selama perjalanan Rp. 25.000
- Ongkos ojek dari Ruteng ke Sawah Cancar Rp. 60.000

- Total Rp 255.000,-

Komentar

  1. Tempat yang indah... semoga blognya terus berkembang... Saya ingin berbagi article tentang Duomo di Milan di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/03/milan-di-piazza-del-duomo.html
    Lihat juga video di youtube https://youtu.be/GkJmdx6yrAo

    BalasHapus

Posting Komentar